PESAWARAN (OP – NEWS) – Aksi tim penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung yang mendadak menggedor Desa Kedondong, Kabupaten Pesawaran, Jumat (26/9/2025) sore, menguak kembali borok proyek gagal yang menyengsarakan warga. Kedatangan mereka diduga kuat terkait penyidikan lanjutan kasus dugaan korupsi proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) senilai Rp8 miliar yang mangkrak dan gagal berfungsi.
Namun, langkah aparat justru diwarnai sikap tertutup. Menggunakan kendaraan berplat luar daerah dan dikawal Polisi Militer, mereka terlihat berusaha menutupi proses penyidikan dari publik. Seorang anggota PM secara terang-terangan mendatangi awak media yang hendak meliput dan meminta agar aktivitas tersebut tidak direkam atau difoto. Janji manis bahwa Kejati akan memberikan pernyataan resmi di kemudian hari terasa seperti upaya pelembutan atas investigasi yang semestinya transparan.
Proyek Mangkrak, Uang Rakyat Menguap?
Kasus yang diselidiki ini berpusat pada proyek perluasan SPAM Jaringan Perpipaan di empat desa: Kedondong, Pasar Baru, Way Kepayang, dan Kubu Batu. Proyek senilai total Rp8 miliar yang dananya bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Tahun 2022 itu ternyata hanya menjadi monumen kegagalan.
Pangkal persoalannya terletak pada ironi yang menyakitkan: proyek miliaran rupiah ini tidak dapat difungsikan sama sekali. Air tidak pernah mengalir dari keran yang dipasang, meskipun secara administratif proyek sudah diserahterimakan dari rekanan kepada pemerintah daerah. Proyek yang dikerjakan empat kontraktor berbeda dengan nilai HPS (Harga Perkiraan Sendiri) mendekati Rp2 miliar per lokasi ini jelas beraroma penyelewengan akut.
Komitmen atau Sandiwara?
Kegagalan proyek ini adalah tamparan keras bagi komitmen pemerintah. Di satu sisi, Kejati dan aparat penegak hukum lainnya kerap menyuarakan gencarnya pengawasan proyek strategis daerah. Namun, di sisi lain, realitas di lapangan berbicara lain. Masyarakat Kedondong dan desa sekitarnya masih harus berhadap-hadapan dengan kenyataan pahit: mereka terampas haknya untuk menikmati air bersih, sementara uang mereka sebesar Rp8 miliar mungkin telah menguap ditelan korupsi.
Kedatangan penyidik ke lokasi adalah langkah yang ditunggu. Namun, masyarakat tidak butuh sekadar teatrikal penggeledahan. Yang dibutuhkan adalah kehadiran negara yang sesungguhnya. Negara harus hadir tidak hanya dengan proses hukum yang transparan—bukan dengan pembungkaman media—tetapi juga dengan langkah nyata untuk memulihkan kerugian negara dan, yang paling penting, memastikan proyek ini dibenahi hingga air bersih benar-benar mengalir ke rumah-rumah warga.
Publik kini menanti. Bukan janji, tapi bukti. Kejati Lampung harus membuktikan bahwa penyidikan ini bukan sekadar pencitraan, tetapi upaya tuntas untuk mengusut tuntas mafia proyek dan menegakkan keadilan bagi warga yang menjadi korban. (Red)






