Pringsewu Orasipubliknews.co.id – Nama Jevi Hardi Sofyan, S.H., M.H., kembali mencuat dalam sorotan publik. Pria yang menjabat sebagai Kepala Desa Pardasuka ini juga membawahi dua posisi strategis lain: Ketua Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Kabupaten Pringsewu dan Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kabupaten Pringsewu. Akumulasi jabatan ini kini menuai kritik tajam dan dianggap telah melanggar sejumlah aturan dalam tata kelola pemerintahan desa serta prinsip dasar lembaga kepemudaan. Rabu 03 Desember 2025.
Berdasarkan investigasi awal dari beberapa pegiat pemerintahan desa dan aktivis pemuda, setidaknya terdapat tiga potensi pelanggaran serius yang melekat pada fenomena “kepemimpinan ganda” ini.
Pertama, merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, terdapat prinsip kepastian hukum dan profesionalitas dalam pengelolaan dana desa. Konsekuensi logisnya, Kepala Desa harus fokus pada tugasnya mengelola anggaran dan pembangunan desa. Memegang jabatan struktural di organisasi lain, apalagi yang bersifat politis seperti KNPI, berisiko tinggi menciptakan konflik kepentingan dan mengaburkan akuntabilitas. Kekhawatiran terbesar adalah potensi aliran sumber daya, baik itu dana, fasilitas, maupun pengaruh, yang bisa tumpang-tindih antara kepentingan Desa Pardasuka, APDESI, dan KNPI.
Kedua, terkait asas kemandirian lembaga kepemudaan. KNPI sebagai wadah berhimpunnya pemuda seharusnya dipimpin oleh figur yang mendedikasikan waktu dan pikirannya untuk membangun kapasitas generasi muda. Seorang Kepala Desa, dengan segudang tugas pemerintahan dan administratif, diragukan dapat menjalankan fungsi ini secara optimal. Hal ini justru berpotensi menjadikan KNPI sebagai underbow atau onderdil dari kekuasaan formal, bukan sebagai kekuatan kritis dan mandiri yang menjadi semangat awal pembentukannya.
Ketiga, menyangkut kode etik pemerintahan desa dan prinsip good governance. Akumulasi jabatan yang berlebihan dapat mengindikasikan praktik monopoli kekuasaan dan penguasaan jaringan di tingkat lokal. Hal ini bertentangan dengan semangat demokratisasi dan pemerataan kesempatan yang menjadi roh dari Undang-Undang Desa.
“Kami mendesak Pemerintah Kabupaten Pringsewu, dalam hal ini Bupati dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD), untuk segera melakukan verifikasi dan evaluasi mendalam terhadap kasus ini,” tegas salah seorang perwakilan Lembaga Pemantau Desa Independen yang enggan disebutkan namanya.
“Pertanyaan mendasarnya adalah: apakah dengan tiga jabatan berat ini, masyarakat Desa Pardasuka masih mendapatkan pelayanan prima dan pengelolaan dana desa yang optimal? Lalu, apakah pemuda Pringsewu diwakili oleh suara yang benar-benar independen? Atau ini hanya soal konsolidasi kekuasaan dan akses sumber daya?” tambahnya.
Desakan juga ditujukan kepada Dewan Pengurus Pusat APDESI dan Pengurus Provinsi KNPI Lampung untuk meninjau kembali kelayakan dan kesesuaian dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga organisasi mereka. Apakah aturan internal memperbolehkan seorang Kepala Desa aktif memegang jabatan ketua di organisasi eksternal yang memiliki ruang lingkup politis dan advokasi yang luas?
Kasus ini dianggap sebagai ujian bagi komitmen Pringsewu terhadap tata kelola pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan berintegritas, dari level desa hingga kabupaten. Masyarakat dan para pemantau menunggu tindakan tegas dan transparan dari otoritas terkait sebelum anggapan pelanggaran ini berubah menjadi preseden buruk yang dilegalkan.
Demi keberimbangan pemberitaan team media melakukan kordinasi dan konfirmasi pada Jevi Hardi Sofyan, S.H., M.H., telpon Whatsap nya walau dalam keadaan aktif tidak ada jawaban team media melanjutkan melalui pesan Whatsap walau dalam keadaan di baca tetap tidak memberikan hak jawab nya sampai berita di terbitkan
[Redaksi Orasipubliknews]










